KUANSING – BACARIAU.COM – Mungkin inilah cara Tuhan membuat seseorang terkenal. Dalam hitungan detik terkenal ke seluruh dunia. Dialah bocil asal Riau. Kalau orang Pontianak menyebutnya, “budak kecik” yang mengguncang jagat raya. Dunia pun meniru gayanya. Siapkan kopi tanpa gulanya, kita ungkap siapa bocil Melayu tersebut.
Desa Pintu Gobang Kari, Kuantan Tengah Riau. Sebuah tempat yang kalau ente cari di Google Maps, mungkin sinyalnya menyerah duluan. Tapi dari sanalah datang bocah 11 tahun bernama Rayyan Arkhan Dhika. Ia bukan bocil biasa, tapi entitas budaya, pahlawan lokal, dan ikon global dalam satu goyang kepala.
Mari kita hening sejenak. Karena kita sedang membahas Togak Luan, bukan profesi sembarangan. Ini bukan TikTokers yang joget-joget di dapur. Ini adalah penari spiritual, penjaga ritme kosmis, dan pengatur semangat kolektif di perahu Pacu Jalur yang melaju seperti kilat di Sungai Kuantan. Bayangkan, wak! Saat dunia ribut soal AI dan metaverse, Rayyan justru membangun metaverse tradisional dari kayu, semangat, dan gerakan pinggul yang penuh kharisma.
Dalam dunia filsafat budaya, Togak Luan adalah Nietzsche yang menari di atas air, Sartre dengan tanjak, dan Derrida yang menolak dekonstruksi tradisi. Togak Luan bukan cuma berdiri. Ia eksis. Ia menjadi. Ia menyala seperti meteor Melayu yang tidak bisa dihentikan algoritma mana pun.
Lalu muncul istilah Aura Farming? Adalah kegiatan membajak aura dari alam semesta lalu menyebarkannya ke seantero dunia, tanpa usaha, tanpa endorse, tanpa kamera 4K. Hanya dengan teluk belanga hitam, tanjak Melayu, dan kacamata hitam yang tampaknya menyimpan seluruh rahasia galaksi, Rayyan menari di ujung perahu seperti dewa kecil yang mabuk semangat kolektif. Spontan. Mistis. Kontan TikTok internasional meledak, Instagram mengalami krisis kepercayaan diri, dan YouTube mulai merasa seperti aplikasi tua tak relevan.
Kata netizen Prancis: “Le swag de Kuantan est supérieur.”
Kata netizen Brazil: “Esse garoto é magia do rio!”
Kata netizen Indonesia? “Bocah mana nih woy, swag pol!”
PSG dan AC Milan yang biasanya sibuk dengan gol dan glamor, kini justru mencari pencerahan spiritual dari perahu kayu. Selebrasi gol mereka sudah bukan Cristiano Ronaldo-style. Sekarang, tangan ke atas, kepala goyang, mata menatap takdir, gaya Rayyan.
Travis Kelce? Pria kekar NFL itu mengunggah video touchdown-nya dengan gerakan Rayyan yang disisipkan di tengah, seolah-olah berkata, “Aku besar di NFL, tapi aura-ku dari Sungai Kuantan.”
KSI, rapper dengan jutaan fans, joget dengan gaya Rayyan di TikTok. Dunia tenggelam dalam euforia Rayyanisme. TikTok berubah jadi madrasah aura, Instagram jadi musala ekspresi diri, dan Facebook… ya, tetap Facebook, tapi sekarang lebih Melayu.
Rayyan bukan konten kreator karbitan. Ia anak sungai. Sejak kecil hidup dengan air, kayu, dan semangat komunitas. Ayahnya, mantan jago Pacu Jalur. Kakaknya, juga Togak Luan. Ini bukan tren, ini takdir berdarah. Mungkin, kalau DNA-nya diteliti, akan ditemukan gen “Aura Nusantara”.
Tarian itu bukan latihan. Itu adalah perwujudan memori leluhur. Goyangan itu bukan koreografi, tapi doa yang bergerak.
Helmy Yahya sampai speechless. Pengamat budaya bingung, “Kenapa yang viral bukan influencer Jakarta, tapi bocah sungai?” Jawabannya, karena Rayyan tidak mencoba menjadi siapa-siapa. Ia hanya menjadi Rayyan. Dunia yang sedang lapar akan keaslian, langsung jatuh cinta.
Kapolda Riau Irjen Pol. Dr. Herry Heryawan, S.I.K., M.H., M.Hum sampai bilang ini edukasi. Universitas menyarankan diplomasi budaya. Tapi rakyat? Mereka menyimpulkan satu hal, “Rayyan bikin kita bangga jadi orang Indonesia, tanpa harus aneka gimmick di Eropa.”
Fenomena Rayyan Arkhan Dhika adalah revolusi sunyi. Ia mengubah definisi keren. Ia menampar wajah promosi pariwisata yang selama ini dijejali drone dan hotel mahal. Ia hanya butuh sehelai tanjak, sepotong teluk belanga, dan gerakan penuh keikhlasan untuk menaklukkan dunia.***